Kamis, 31 Januari 2013

Filosofi Mbah Nan : Asal senang



                 Sekolah Tinggi Teologi Aletheia adalah satu institusi yang terdiri dari elemen-elemen manusia yang mempunyai tugas dan tanggungjawab berbeda-beda. Dari jajaran yang bisa disebut eksekutif sampai kepada karyawan, mereka adalah orang-orang yang bersama-sama saling bahu-membahu mewujudkan sebuah komunitas, dalam hal ini institusi pendidikan yang terus ingin bergerak maju meretas secercah sinar dan menata diri ditengah bangsa, yang ingin mengambil sedikit fungsi dari berjuta-juta manusia dibumi ini. Panorama yang begitu luas, dan cita-cita yang masih terus coba diraih tidak melepaskan diri dari semua upaya yang dilakukan untuk meraih asa dan impian tersebut.
            Dalam sebuah institusi, membangun situasi kerja adalah lingkup yang tidak bisa terlepas dan dipisahkan dari rentetan upaya mencapai keberhasilan berjalannya operasioanal sebuah komunitas kerja. Menyoroti hal ini, bertemu dengan sesosok pribadi yang sudah lanjut usia, tetapi memiliki semangat yang tinggi dan dedikasi hidup yang nyata membangkitkan keingintahuan akan pribadi ini dalam perjalanannya menapaki rentang waktunya yang panjang ditempat ini.
             Namanya mungkin sudah tidak asing lagi bagi komunitas di Aletheia. Pribadi yang apa adanya, sederhana dan bersahaja ternyata menyimpan sebuah filosofi hidup yang luar biasa. Dialah Mbah Nan, Sungguh suatu kesempatan yang menyenangkan tatkala saya  sejenak berbincang-bincang dengan beliau saat ia sedang membersihkan kolam ikan pada waktu itu, saya mencoba melontarkan beberapa pertanyaan kepada beliau, yang pertama: “Usia mbah sekarang berapa?” Kemudian beliau menjawab: “Kira-kira sudah sekitar 86 tapi rodok lali (red. Lupa)”, jawaban yang mengagumkan saya ketika melihat fisik beliau yang masih etes (lincah) tersebut. Kemudian pertanyaan kedua: “Sudah berapa lama disini mbah?” Jawab beliau: “Pokoknya semenjak ada ITA (red. nama awal STT Aletheia) ini, saya sudah disini, kira-kira ya seket (red. 50) tahun nak”. Wah luar biasa!! Saya bilang. Dan beliau juga mengatakan:” kerja itu ya nak, yang penting hatinya senang dulu, pasti jadi senang kerja.” Sungguh suatu dedikasi hidup pada sebuah institusi dan ungkapan kerja yang penting senang adalah filosofi Mbah Nan. Bahkan beliau datang lebih awal dari semua rekan-rekan kerja beliau. Sebuah seni hidup yang sederhana yang diterapkan secara nyata dalam diri seseorang yang seharusnya bisa menjadi teladan yang sudah ada. Seni yang kecil, berdampak besar, itulah yang dilakukan oleh Mbah Nan. Bagaimana dengan kita?
 
By. Wahyu Agustiono/ Theologi – Tingkat 3

1 komentar: